A. Hakekat Etos
Kerja dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh
individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari
kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian
akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon
yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
(An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan
lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut
sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah)
di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan
tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
B. Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah
semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun
non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS
Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu.
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an
banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat
tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan
masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di
dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika
kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang
kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1)
Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di
antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2)
Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17
kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3)
Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita
temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4)
Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam
surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5)
Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum,
a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21
6)
Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu,
ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab:
31.
7)
Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung
anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu
fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah
berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang
serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
إِذَا
قِيلَ
لَكُمْ
تَفَسَّحُوا
فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ
اللَّهُ لَكُمْ
ۖ وَإِذَا
قِيلَ
انْشُزُوا
فَانْشُزُوا
يَرْفَعِ
اللَّهُ
الَّذِينَ
آمَنُوا
مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ
ۚ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
Hai orang-orang
beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis",
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 9 dan 10 Allah SWT menyatakan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ٩
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ١٠
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S.Al-Jumu’ah
: 10)
Pada hakikatnya, pengertian kerja
semacam ini telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak
berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang
mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik
restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang
bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang
secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan
dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja
yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti
pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un: para
petani.
Pengertian tersebut tentunya
berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah
bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering
keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
C. Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan
pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan
diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat
dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa
mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini
dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh
amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan,
pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana
kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah
: 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas
memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk
dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa
dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang
harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.
Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran
bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh
amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut
individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha
keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha
seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
2.
Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis
pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
(al-Baqarah: 172)